Hingga kini kondisi kota Tarakan belum sepenuhnya kondusif, para warga khususnya para warga pendatang masih tetap berada di tempat pengungsian, Asrama Brimob. Jumlah pengungsi mencapai lebih dari 1500 orang.
“Semuanya sudah mengungsi karena takut menjadi sasaran dari orang-orang yang sedang bertikai itu,” ujar Nanda. Kedua kelompok yang bertikai terus terlibat bentrok di beberapa sudut Kota Tarakan.
“Aku masih mengungsi di Asrama Brimob. Mohon doanya kami baik-baik saja,” kata Yuliana Lelita, warga pendatang asal Surakarta, Jawa Tengah, melalui pesan telepon selulernya.
Untuk mengatasi merembetnya konflik tersebut ke daerah lain, tiga pleton Brimob dan polisi masih terus di siagakan di wilayah perbatasan antara Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.
Penyebab Konflik di Tarakan
Kekacauan yang terjadi kota Tarakan sebenarnya berawal dari keributan antara 2 pemuda yang berbeda etnis. Keributan tersebut terjadi akibat pengaruh minuman keras. Setelah pemuda lokal kena pukul, dia pun melaporkannya ke orang tuanya, Abdul (50).
Namun naasnya ketika Abdullah pergi ke rumah pelaku, malah dia di keroyok keluarga pelaku dan akhirnya tewas. Tewasnya Abdullah memicu kemarahan massa, mereka mendatangi rumah pelaku dan membakarnya. Tidak hanya rumah pelaku, tapi juga empat rumah lainnya.
Perselisihan kedua kelompok berkembang menjadi pertarungan dua etnis di wilayah Tarakan, Kalimantan Timur, yaitu etnis asli dan kaum pendatang. Masing masing etnis menunjukkan identitasnya dengan menggunakan semacam pita atau ikatan yang terbuat dari kain. Para pendatang menggunakan pita atau ikatan putih, sedangkan etnis lokal menggunakan pita berwarna kuning.