Satu peraturan lagi yang sedang hangat di bicarakan oleh masyarakat, yaitu Perda Nomor 4/2007 tentang Larangan Ayam Hidup Masuk Jakarta yang rencananya akan di berlakukan tanggal 25 April 2010.
Seperti peraturan lainnya seperti Nikah Sirih dan Fatwa Haram Rokok, Perda Nomor 4/2007 juga mendapat tentangan, khususnya dari para peternak dan pedagang ayam. Beragam demo di lakukan demi tidak di berlakukannya peraturan daerah ini.
Kini selain demo, para peternak dan pedagang ayam juga intens melakukan dialog dengan institusi yang terkait, tidak luput juga para wakil rakyat di DPRD. Bahkan ketua komisi III DPR, Benny K Harman juga siap membantu aspirasi mereka.
Latar belakang pemberlakuan Perda Nomor 4/2007 yaitu untuk meminimalkan potensi penyebaran flu burung. Seperti kita tahu, sekitar tahun 2007 beberapa daerah di Indonesia termasuk Jakarta pernah di serang virus avian influenza jenis H5N1 sampai sampai oleh WHO “di cap” sebagai pandemik flu burung, walaupun hal tersebut sempat di bantah oleh Menteri Kesehatan saat itu, Dr. Siti Fadilah Supari. Sampai sekarang ancaman virus flu burung belum selesai, bahkan kemampuan virus ini semakin lama semakin meningkat. Oleh sebab itu Perda Nomor 4/2007 akan di berlakukan.
Namun sayang sekali, seperti peraturan lain yang saya sebut sebelumnya, Perda Ayam ini tidak memperhatikan lebih lanjut efeknya terhadap peternak dan pedagang ayam. Bahkan beberapa dari mereka curiga perda tersebut akan di gunakan untuk kepentingan yang lain. Berikut skema sederhana mengenai Perda Nomor 4/2007
Versi O-bras
Kita lihat apa yang akan terjadi bila Perda Ayam di berlakukan pada bulan April mendatang. Pertama dari segi positif dulu, bila Perda di berlakukan maka tidak ada lagi di daerah Ibu Kota Jakarta peternak ayam dan pedagang di pasar yang menjual ayam hidup, semuanya ayam yang ada di Jakarta harus dalam keadaan sudah mati atau yang lebih halusnya di kenal dengan produk jadi.
Efeknya, mengurangi kotoran atau bau di pasar yang nantinya akan membuat para penjual dan pembeli yang datang di pasar bisa lebih nyaman. Dan yang lebih penting menekan penyebaran virus flu burung di Jakarta .
Lalu apa efek negatifnya, berdasarkan Jakarta.litbang.depta.go.id pada Des 2006 jumlah peternakan ayam mencapai 188 tempat, itu hanya di Kotamadya Jakarta Selatan saja. Kalau kita ambil minimal perkiraan, jumlah peternakan di Jakarta sekarang secara keseluruhan mungkin mencapai 250an. Bila Perda Ayam di berlakukan semuanya harus pindah tempat dan itu tentu perlu uang, siapa yang membiayainya ?.....
Dari segi konsumen, mayoritas penduduk Jakarta yang beragama Islam tentu sangat memperhatikan kehalalan hewan potong. Bila ayam yang di jual di pasaran berupa produk jadi mungkin akan menimbulkan keraguan di kalangan konsumen. Yang nantinya akan mengakibatkan penurunan permintaan daging ayam. (kalau benar benar perhatian)
Dari segi produk, setiap pedagang ayam di pasar tentu tidak bisa memastikan berapa jumlah permintaan ayam tiap harinya. Bila ayam yang mereka jual sudah dalam keadaan mati tentu kualitasnya tidak akan bertahan lama, beda bila dalam keadaan hidup.
Spekulasi lain, berdasarkan data Pusat Informasi Pasar unggas (Pinsar) kebutuhan unggas di DKI Jakarta saat ini mencapai 800.000 ekor tiap hari, bila di uangkan sekitar Rp 8 milyar (Rp 10.000 / ekor) per hari dan Rp 240 milyar per bulan, bukan suatu angka kecil tentunya.
Dengan pemusatan tempat pemotongan ayam di khawatirkan akan terjadi permainan di dalamnya. Siapa yang tidak tergiur dengan bisnis Rp 200an milyar ini. Perda Nomor 4/2007 juga akan meningkatkan potensi masuknya daging ayam import, apalagi sekarang perdagangan bebas sudah di berlakukan. Bila itu terjadi tentu yang mengalami dampaknya kembali ke peternakan lokal.
Alangkah baiknya bila di lakukan pembahasan yang lebih lanjut mengenai Perda Ayam, baik itu dari pihak Diskes, Dinas Peternakan dan para peternak ayam, sehingga peraturan yang akan di berlakukan tidak merugikan yang lain. Toh bila tidak ada cara yang lain sebaiknya ada pemberian kompensasi akibat kerugian yang timbul akibat peraturan tersebut.